Tipologi Masyarakat Agama Perspektif Sosiologi Agama
Tipologi Masyarakat Agama Perspektif Sosiologi Agama

Tipologi Masyarakat Agama Perspektif Sosiologi Agama

Tipologi Masyarakat Agama Perspektif Sosiologi Agama – Agama merupakan wadah bagi keteraturan hidup manusia yang memiliki implikasi perubahan individual maupun perubahan sosial. Clifford Geertz (1992) menyatakan bahwa Agama sebagai (1) sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku untuk (2) menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan (3) merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak realistis.

Keberadaan agama dalam indivdu maupun kelompok menjadi sangat penting, sebagaimana Menurut Jalaluddin (2002) agama mempunyai beberapa fungsi dalam masyarakat yakni, berfungsi edukatif, berfungsi penyelamat, berfungsi sebagai pendamaian, berfungsi sebagai kontrol sosial, pemupuk solidaritas, berfungsi transformatif,  berfungsi kreatif, dan berfungsi sublimatif. Dari semua fungsi tersebut akan memberikan efek perubahan bagi kehidupan individu maupun kehidupan sosial dalam masyarakat.

 

1. Definisi Masyarakat Beragama

Setelah kita mengetahui definisi agama maka perlu kiranya memahami definisi masyarakat secara umum. Bila membahas suatu masyarakat, biasanya yang dimaksud adalah sekelompok orang yang memilki persamaan dalam berbagai hal dan berhubungan erat satu sama lain. Ralph Linton yang dikutip Soejono Soekanto (1990:26) menyatakan bahwa, masyarakat adalah sekelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur dan menganggap diri mereka sebagai sebagai suatu sistem sosial dengan batas-batas yang terumuskan dengan jelas.

Soelaeman yang mengutip dari M.JL. Gillin dan J.P.Gillin (M. Soelaeman, 2000:122), menyatakan masyarakat yang sesungguhnya itu adanya saling interaksi karena mempunyai nilai-nilai norma-norma, cara-cara, dan prosedur yang merupakan kebutuhan bersama. Dengan begitu, masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi terus menerus sesuai dengan sistem adat-istiadat tertentu dan terikat oleh identitas bersama.

Setelah memahami pengertian masyarakat secara umum, perlu kiranya lebih spesifik memahami pula masyarakat yang notabene beragama. Sebab, pada dasarnya masyarakat beragama mempunyai ciri-ciri khusus yang membedakan dengan masyarakat pada umumnya.

Elizabeth K. Nottingham (1994:16) menyebutkan bahwa masyarakat agama adalah sekumpulan individu manusia yang memiliki kepercayaan yang sama dan mengamalkannya bersama-sama dalam kelompok masyarakat tertentu. Dengan terbentuknya kelompok masyarakat jenis ini, maka setiap doktrin kepercayaan dan aktivitas ritual keagamaan dapat dilesterikan. Elizabeth mengkatagorisasikan jenis kelompok manusia beragama sebagai mayarakat yang mempunyai ciri-ciri berbeda dengan jenis kelompok manusia yang lainnya.

Masyarakat agama merupakan bentuk kehidupan individu yang saling berinteraksi, bergaul cukup lama dan menganut kepercayaan atau agama sebagai dasar hidup dan kehidupannya serta membentuk suatu kebudayaan Aspek masyarakat agama sangat erat hubungannya dengan aspek simbol-simbol keagamaan, karena simbol-simbol keagamaan itu membangkitkan perasaan keterikatan dan kesatuan para anggota-anggota pemeluk agama yang sama. memiliki simbol-simbol yang sama sebagai cara yang efektif untuk semakin memperkuat rasa persatuan di dalam kelompok pemeluk agama bersangkutan.

Kepercyaan-kepecayaan dan pengalaman keagamaan berfungsi sebagai pemersatu masyarakat agama bersangkutan, mengakibatkan timbulnya komunitas-komunitas agama dalam masyarakat, menurut Elizabeth bahwa hal ini terjadi apabila keanggotaan kelompok-kelompok semacam itu sebagian besar berasal dari kelas atau suku minoritas dalam masyarakat yang lebih luas. Dalam kondisi ini kenyakinan-kenyakinan dan pengalaman-pengalaman keagamaan tersebut melaksanakan tugas rangkap; pertama sebagai pusat ”kebersamaan” bagi kelompok-kelompok yang tersingkirkan atau diterlantarkan dalam tatanan sosial yang semakin menghilangkan kepribadian, dan kedua, sebagai batas-batas orientasi yang mungkin bagi kecenderungan yang memecah belah.

 

2. Tahap Pembentukan Masyarakat Agama 

Gejala masyarakat beragama sudah sejak lama menjadi tema dalam kajian-kajian sosiologis, bahkan sejak sosiologi klasik pun agama dianggap memainkan peranan yang signifikan dalam mengkonstruksi manusia menjadi sebuah masyarakat. Seperti halnya di awal munculnya sosiologi sebagai disiplin ilmu mandiri yang digagas oleh Comte yang menyakini bahwa pada dasarnya pembentukan masyarakat pun terjadi evolusi. Tahapan di mulai dari pembentukan fase masyarakat teologis, dan kemudian fase masyarakat metafisik, yang terakhir adalah fase masyarakat positivistik (Wibisono, 2020:53).

  • Tahap Teologis.

Masyarakat dicirikan oleh penjelasan-penjelasan yang murni agama terhadap segala sesuatu. Masyarakat ini merupakan masyarakat primitif yang masih belum mengenal huruf (buta huruf). Pada tahap teologis ini dibagi menjadi tiga, yaitu animisme, politeisme, dan monoteisme.

  • Tahap Metafisik

Merupakan tahap pencerahan atau reformasi terhadap penjelasan-penjelasan yang murni agama tersebut. Sikap skeptis masyarakat mulai terlihat dengan kecenderungan mempertanyakan keabsahan penjelasan agama terhadap fenomena sehari-hari.

  • Tahap Positivistik

Pada tahap ini terjadi revolusi pemikiran manusia. Hasilnya ialah temuan-temuan ilmiah, teknologi, pembangunan dan perkembangan ilmiah lainnya.