Sejarah Perkembangan Ilmu Sosiologi di Indonesia
Sejak jaman kerajaan di Indonesia sebenarnya para raja dan pemimpin di Indonesia sudah mempraktikkan unsur-unsur Sosiologi dalam kebijakannya begitu pula para pujangga Indonesia. Misalnya saja Ajaran Wulang Reh yang diciptakan oleh Sri Paduka Mangkunegoro dari Surakarta, mengajarkan tata hubungan antara para anggota masyarakat Jawa yang berasal dari golongan-golongan yang berbeda, banyak mengandung aspek-aspek Sosiologi, terutama dalam bidang hubungan antar golongan (intergroup relations).
Ki Hajar Dewantoro, pelopor utama pendidikan nasional di Indonesia, memberikan sumbangan di bidang sosiologi terutama mengenai konsep-konsep kepemimpinan dan kekeluargaan di indonesia yang dengan nyata di praktikkan dalam organisasi pendidikan Taman Siswa. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, seorang sarjana Indonesia yaitu Soenario Kolopaking, untuk pertama kalinya member kuliah sosiologi (1948) pada Akademi Ilmu Politik di Yogyakarta (kemudia menjadi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik UGM beliau memberika kuliah dalam bahasa Indonesai ini merupakan suatu yang baru, karena sebelum perang dunia ke dua semua perguruan tinggi diberikan dalam bahasa Belanda. Pada Akademi Ilmu Politik tersebut, sosiologi juga dikuliahkan sebagai ilmu pengetahuan dalam Jurusan Pemerintahan dalam Negeri, hubungan luar negeri dan publisistik. Kemudian pendidikan mulai di buka dengan memberikan kesempatan kepara para mahasiswa dan sarjana untuk belajar di luar negeri sejak tahun 1950, mulailah ada beberapa orang Indonesia yang memperdalam pengetahuan tentang sosiologi.
Sejarah Perkembangan Ilmu Antropologi di Indonesia
Menurut catatan sejarah, perjalanan studi antropologi di Indonesia sudah cukup lama. Bermula dari studi etnografi, yaitu kajian tentang manusia, kebudayaan dan masyarakat Indonesia yang telah mulai ada sejak abad 16. Karya-karya etnografi yang ditulis oleh orang-orang Eropa pada masa-masa itu umumnya memang masih mengandung banyak kelemahan, biasanya bersifat dangkal, kurang teliti, kebanyakan mengkhusus pada unsur-unsur yang di mata mereka tampak aneh saja. Hal ini dapat dimaklumi karena karya tulis tersebut dibuat oleh orang-orang yang tidak memiliki keahlian dalam penulisan etnografi (Koentjaraningrat, 1980: 4).
Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri karya-karya tersebut mempunyai peranan penting dalam perkembangan antropologi. Namun demikian, ada juga beberapa penulis yang menghasilkan karya etnografi cukup baik, dan karyanya dianggap cukup penting dalam menjelaskan kehidupan suatu suku bangsa. Misalnya, Snouck Hurgronye yang menghasilkan karya etnografi tentang suku bangsa Aceh dan orang Gayo, dan Niewenhuis menghasilkan karya etnografi tentang orang Dayak, serta A.C. Kruyt menulis tentang orang Toraja di Sulawesi.
Perkembangan antropologi di Indonesia selanjutnya, terutama setelah tahun 1950-an tidak dapat dilepaskan dari peranan Koentjaraningrat sebagai tokoh utamanya. Melalui tangan Koentjaraningrat, antropologi Indonesia menjadi alat penting untuk proyek nasionalisme. Pada masa selanjutnya, Antropologi berperan dalam menggali “mentalitas budaya Indonesia” yang akan dijadikan modal sosial untuk menyokong pembangunan. Mahasiswa antropologi dikirim ke daerah-daerah “terpencil” untuk meneliti perilaku menabung, pola makan, sikap terhadap kebersihan, urusan mengisi waktu luang, nilai anak, budaya berlalu lintas,
sampai pada konsep sehat dan sakit-informasi yang bisa dipakai untuk “memerdayakan” yang “belum berbudaya”. Sedangkan di pusat kekuasaan nasional di Jawa dan Bali, antropolog-antropolog dikerahkan mengumpulkan informasi tentang “puncak-puncak kebudayaan” daerah yang mampu mempromosikan keberadaban Indonesia.