Ngemis Online Sebuah Fenomena Menarik Tahun 2023, Bagaimana Pandangan Para Ahli Sosiolog- sosiopedia

Ngemis Online Sebuah Fenomena Menarik Tahun 2023, Bagaimana Pandangan Para Ahli Sosiolog

Tiktok adalah media video sharing online yang memang membuat ketar-ketir kompetitornya seperti youtube dan lain sebagainya, karena popularitasnya yang luar biasa, akhirnya ada beberapa pihak yang secara kreatif membuat kontent ngemis, dan akhirnya jadilah sebuah karya dari buah tangan netizen kreatif negara indonesia sebuah fenomena baru yang dinamakan Ngemis Online. Dan yang tidak habis pikir ternyata kebanyakan dari netizen kita yaitu masyarakat indonesia teryata memberikan respons loo, baik itu respons positif maupun negatif, tetap saja ngemis online jalan dan dapat hasil juga hehe, nahh sekarang apa pandangan sosiolog menyikapi fenomena ini?

Pendapat dari Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Drajat Tri Kartono

dilansir dari solopos   Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Drajat Tri Kartono, menilai pengemis online terjadi karena pertemuan dua hal. Pertemuan pertama berasal dari perkembangan teknologi informasi berupa sosial media. Sementara faktor lainnya adalah tingkat kedermawanan warga Indonesia.

Menurutnya perkembangan teknologi tersebut dimanfaatkan secara kreatif oleh orang-orang tertentu untuk mendapat penghasilan. Dalam hal ini orang-orang yang merelakan dirinya untuk dikasihani atau mengemis.

“Dalam sosiologi mereka diistilahkan sedang memanajemen peran atau menyeting dirinya untuk dikasihani karena telah miskin, menunjukkan kesengsaraan dan lainnya,” jelas Drajat melalui sambungan telepon, Senin (23/1/2023).

Drajat menilai peluang kreativitas kemiskinan tersebut dibantu dengan teknologi baru yang menggambarkan pengemis tidak sekedar pasrah. Mereka dianggap kreatif dengan memanfaatkan teknologi sebagai bagian dari manajemen kesan untuk mendapatkan perhatian.

Namun, kreativitas itu memberikan dampak yang luas terhadap masyarakat secara umum dan juga bangsa karena disiarkan secara online. Hal itu dapat merusak citra masyarakat Indonesia dalam kancah global.

Pada sisi lain, para pengemis tersebut memanfaatkan kecenderungan orang Indonesia yang terkenal dengan kedermawaannya. Selain berdasarkan survey, kedermawaan tersebut juga dapat dilihat dengan perolehan pendapatan pengemis online yang mencapai jutaan rupiah.

“Perkembangan kreativitas digital dan pemanfaatan kurang tepat. Mengatur ini akan sulit maka harus ada intervensi digital melalui platform dengan melaporkan bersama-sama secara masif,” terang Drajat.

Pemerintah juga harus menyelesaikan kemiskinan sebagai faktor utama munculnya “para aktor” tersebut. Dia mengatakan jika tidak ada literasi digital untuk menyadarkan, maka kreativitas ini akan muncul beranekaragam karena penawaran dan permintaan tetap ada.

“Supply-nya adalah orang dermawan sementara demand-nya orang-orang yang memainkan peran kemiskinan. Ini kategori penyakit masyarakat di dunia digital sehingga pemerintah harus mulai mengembangkan strategi penanganan, pemberdayaan bahkan rehabilitasi penyakit sosial di dunia digital ini,” tegas Drajat.

Menurut Sosiolog Universitas Airlangga (Unair), Prof Dr Bagong Suyanto, Drs, MSi

Pendapat yang lebih tegas juga disampaikan oleh Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs, MSi. Seorang sosilog dari Kota Surabaya ini melalui detik.com dimana substansi para ‘pengemis’ online tidaklah berbeda, yakni meminta belas kasihan orang agar memperoleh sesuatu. “Jadi mengemis ini tidak mudah, makin banyak saingan. Sehingga mereka perlu berkreasi untuk mendapatkan belas kasihan masyarat untuk memberikan amal karitatifnya,” jelasnya, dikutip dari rilis laman Universitas Airlangga, Kamis (19/1/2023).

Prof Bagong juga mengecam kreator konten yang mencoba mengeksploitasi orang tua mereka. Dia menyebut, ada banyak anak muda di belakang layar yang berperan, terutama untuk mengoperasikan media sosial tersebut. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair ini menilai bahwa pemerintah harus bisa melakukan perang wacana. Pasalnya, ‘pengemis’ online tidak dapat ditindak seperti pengemis pada umumnya dengan dukungan dinas sosial atau Satpol PP.

Prof Bagong menekankan, biar masyarakat yang menghakimi tindakan tersebut dengan cara tidak menyumbang maupun menonton konten ‘ngemis’ online. Dia berpesan supaya pemerintah dan masyarakat bersikap adil serta tidak memberi stigma negatif terhadap orang miskin. Musababnya, banyak juga masyarakat miskin yang butuh bantuan sehingga terpaksa mengemis.

Penindakan keras menurutnya justru perlu diterapkan kepada orang yang memanfaatkan orang miskin demi kekayaan pribadi. Guru besar sosiologi ekonomi ini menekankan perlunya memilah karena masyarakat tidak bisa menghakimi semuanya salah.

“Harus dilihat siapa yang melakukan karena dia butuh hidup, itu tidak masalah. Ini kan sama seperti artis yang membuka donasi terbuka, kan sama. Lah kenapa kalau artis tidak kecam, orang miskin dikecam,” pungkasnya.