Teori Sosiologi Agama Teori-Teori Klasik

Teori Sosiologi Agama : Teori-Teori Klasik

Teori Sosiologi Agama : Teori-Teori Klasik – Teori merupakan alat untuk melakukan analisis dan bukan merupakan tujuan analisis, tetapi hanya untuk memahami kenyataan atau fenomena. Terdapat setidaknya tiga teori dalam sosiologi agama, yakni teori klasik, teori modern dan teori postmodern. Dalam pembahasan ini hanya teori klasik yang dibahas. Untuk teori lain akan saya bahas ditulisan selanjutnya.

Ibnu Khaldun (1332-1406)

Ibnu Khaldun mempunya nama lengkap Abdurrahman bin Khaldun Al-Hadlrami. Beliau dilahirkan di Tunis, pada 1 Ramadhan 732H atau 27 Mei 13324 dan wafat di kairo pada tahun 1406. Ia dikenal sebagai sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang hafal Al-Qur’an sejak usia dini. Ibnu Khaldun tinggal di Carmona yaitu sebuah kota kecil yang terletak di antara Kardova, Sevilla dan Granada disebelah selatan Granada (Spanyol). Adapun teori sosiologi agama Ibnu Khladun adalah “Perkembangan Masyarakat Dan Perubahan Sosial”. (Abbas Sofwan Matlail Fajar, 2019)

  1. Teori Masyarakat Badui Versus Masyarakat Kota

Ibnu Khaldun membagai masyarakat dalam dua tipe yakni adawah dan hadharah. Pertama, adawah yaitu masyarakat yang tinggal di pedalaman, masyarakat primitif, atau yang tinggal di daerah gurun (masyarakat Badui). Masyarakat badui yang hidup sederhana dari pada orang-orang kota dan hidup dengan meninggalkan makanan mewah, memiliki tingkat ketakwaan yang lebih baik daripada masyarakat kota.

Kelompok Badui dianggap memiliki ikatan solidaritas yang sangat kuat. Ikatan solidaritas sosial inilah menyebabkan kelompok badui mampu mempertahankan diri, kemudian Khaldun menyebut solidaritas sosial dengan istilah ‘ashabiyah’.

Kedua, hadharah yaitu masyarakat yang identik dengan kehidupan kota, Ibnu Khaldun menyebutnya masyarakat beradab atau memiliki peradaban atau disebut juga masyarakat kota. Masyarakat kota yang hidup dengan makanan mewah, memiliki tingkat ketakwaan yang kurang, serta mempunyai peradaban yang maju.

Masyarakat kota dianggap tidak memiliki ikatan solidaritas yang sangat kuat. Memiliki tingkat kemalasan yang tinggi karena dipermudah oleh peradaban yang maju serta bersikap individualistik.

  1. Teori Ashabiyah dan Siklus Perubahan Sosial

Secara etimologis ashabiyah berasal dari kata ashaba yang berarti mengikat. Secara fungsional ashabiyah menunjuk pada ikatan sosial budaya yang dapat digunakan untuk mengukur kekuatan kelompok sosial (solidaritas Sosial). Ibnu Khaldun membagi istilah ashabiyah menjadi dua macam pengertian yakni ashabiyah bermakna positif dan ashabiyah bermakna negatif.

Pengertian ashabiyah bermakna positif dengan menunjuk pada konsep persaudaraan (brotherhood). Dalam sejarah peradaban Islam konsep ini membentuk solidaritas sosial masyarakat Islam untuk saling bekerjasama, mengesampingkan kepentingan pribadi (self-interest), dan memenuhi kewajiban kepada sesama. Semangat ini kemudian mendorong terciptanya keselarasan sosial dan menjadi kekuatan yang sangat dahsyat dalam menopang kebangkitan dan kemajuan peradaban.

Kedua, Pengertian ashabiyah bermakna negatif, yaitu menimbulkan kesetiaan dan fanatisme membuta yang tidak didasarkan pada aspek kebenaran. Konteks pengertian yang kedua inilah yang tidak dikehendaki  dalam sistem pemerintahan Islam. Karena akan mengaburkan nilai-nilai kebenaran yang diusung dalam prinsip-prinsip agama.

Dapat dikatakan bahwa ashabiyah sangat menentukan kemenangan dan keberlangsungan hidup suatu negara, dinasti, ataupun kerajaan. Tanpa dibarengi ashabiyah, maka keberlangsungan dan  eksistensi suatu negara tersebut akan sulit terwujud.

  1. Perkembangan dan Runtuhnya Negara

Ibnu Khaldun mengklasifikasikan tingkat perkembangan dan runtuhnya negara menjadi lima tingkat yakni:

  • Tahap Pendirian Negara. Pada tahap ini Negara tidak akan tegak kecuali dengan ‘Ashabiyah (solidaritas sosial). Karena dengan adanya ’ashabiyah akan membuat orang menyatukan upaya untuk mencapai tujuan yang sama.
  • Tahap Pemusatan Kekuasaan. Pada tahap ini pemusatan kekuasaan merupakan kecenderungan yang alamiah pada manusia. penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Nafsu untuk menguasai menjadi tidak terkendali.
  • Tahap sejahtera. Ketika kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha membangun negara. Berbagai upaya dicurahkan untuk menarik pajak, mengelola pengeluaran dan pemasukan, membangun gedung-gedung yang tinggi dan lain sebagainya.
  • Tahap Ketundukan dan Kemalasan. Negara pada saat ini dalam keadaan statis, tidak ada perubahan apapun yang terjadi, dan negara seakan-akan berada diujung kisahnya . Penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya.
  • Tahap Keruntuhan Kekuasaan. Penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada tahap ini, negara tinggal menunggu kehancurannya.

Generasi pertama; generasi pembangun, generasi yang masih memegang sifat-sifat kenegaraan. Generasi kedua; generasi penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara. Generasi ketiga; ganeresi ketidakpedulian.

 

Auguste Comte (1798-1857)

Auguste Comte mempunyai nama panjang Isidore Marie Auguste François Xavier Comte. Ia lahir di Montpellier Prancis, pada tanggal 19 Januari 1798 dan meninggal di Paris Prancis pada tanggal 5 September 1857 pada umur 59 tahun. Ia melanjutkan pendidikannya di École Polytechnique di Paris. Ia dinobatkan sebagai Bapak Sosiologi Dunia karena dari Comte, kata-kata sosiologi pertama kali digunakan.

Auguste Comte berpendapat bahwa agama merupakan perekat sosial (social glue) menjaga perpecahan sekte-sekte dari masyarakat secara keseluruhan. Menurut Comte, ada 3 jenis agama yakni, Pertama, agama sebagai penghormatan atas alam, dan semua adalah Tuhan. Kedua, agama merupakan penyembahan terhadap kaidah moral sebagai kekuasaan. Ketiga, agama adalah kekuasaan yang tidak terbatas yang terungkap dalam alam yang merupakan sumber dan akhir dari cita moral. Moralitas adalah hakikat dari benda-benda.

Adapun sumbangan pemikiran Auguste Comte dalam sosiologi agama adalah Hukum Tiga Tahap Perkembangan Masyarakat

  1. Tahap Teologis.

Masyarakat dicirikan oleh penjelasan-penjelasan yang murni agama terhadap segala sesuatu. Masyarakat ini merupakan masyarakat primitif yang masih belum mengenal huruf (buta huruf). Pada tahap teologis ini dibagi menjadi tiga, yaitu animisme, politeisme, dan monoteisme.

  1. Tahap Metafisik

Merupakan tahap pencerahan atau reformasi terhadap penjelasan-penjelasan yang murni agama tersebut. Sikap skeptis masyarakat mulai terlihat dengan kecenderungan mempertanyakan keabsahan penjelasan agama terhadap fenomena sehari-hari.

  1. Tahap Saintifik

Pada tahap ini terjadi revolusi pemikiran manusia. Hasilnya ialah temuan-temuan ilmiah, teknologi, pembangunan dan perkembangan ilmiah lainnya.